Selasa, 01 Juli 2008

nilai nilai pendididkan

NILAI – NILAI PENDIDIKAN

Kita harus sadar, bahwa pembentukan karakter dan watak atau kepribadian ini sangat penting, bahkan sangat mendesak dan mutlak adanya (tidak bisa ditawar-tawar lagi). Hal ini cukup beralasan. Mengapa mutlak diperlukan? Karena adanya krisis yang terus berkelanjutan melanda bangsa dan negara kita sampai saat ini belum ada solusi secara jelas dan tegas, lebih banyak berupa wacana yang seolah-olah bangsa ini diajak dalam dunia mimpi. Tentu masih ingat beberapa waktu yang lalu Pemerintah mengeluarkan pandangan, bahwa bangsa kita akan makmur, sejahtera nanti di tahun 2030. Suatu pemimpin bangsa yang besar untuk mengajak bangsa atau rakyatnya menjadi "pemimpi" dalam menggapai kemakmuran yang dicita-citakan.

Banyak kalangan masyarakat yang mempunyai pandangan terhadap istilah "kelatahan sosial" yang terjadi akhir-akhir ini. Hal ini memang terjadi dengan berbagai peristiwa, seperti tuntutan demokrasi yang diartikan sebagai kebebasan tanpa aturan, tuntutan otonomi sebagai kemandirian tanpa kerangka acuan yang mempersatukan seluruh komponen bangsa, hak asasi manusia yang terkadang mendahulukan hak daripada kewajiban. Pada akhirnya berkembang ke arah berlakunya hukum rimba yang memicu kesukubangsaan (ethnicity). Kerancuan ini menyebabkan orang frustasi dan cenderung meluapkan perasaan tanpa kendali dalam bentuk "amuk massa atau amuk sosial".

Berhadapan dengan berbagai masalah dan tantangan, pendidikan nasional pada saat yang sama (masih) tetap memikul peran multidimensi. Berbeda dengan peran pendidikan pada negara-negara maju, yang pada dasarnya lebih terbatas pada transfer ilmu pengetahuan, peranan pendidikan nasional di Indonesia memikul beban lebih berat Pendidikan berperan bukan hanya merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetap lebih luas lagi sebagai pembudayaan (enkulturisasi) yang tentu saja hal terpenting dan pembudayaan itu adalah pembentukan karakter dan watak (nation and character building), yang pada gilirannya sangat krusial bagi notion building atau dalam bahasa lebih populer menuju rekonstruksi negara dan bangsa yang lebih maju dan beradab.

Melalui pendidikan selaras zaman kita menghasilkan pribadi-pribadi yang memenuhi kebutuhan zaman. Dalam arti bahwa setiap individu harus bisa berpikir dan bertindak sesuai dengan tuntutan zaman. Sebab itu pendidikan tidak terbatas pada sebuah wacana tetapi meluas pada tindakan praktis. Pendidikan senantiasa beradaptasi dengan perkembangan zaman. Tujuannya menghindari kesenjangan antara kualitas pendidikan masyarakat, perilaku hidup dan kemajuan zaman. Sebab bila tidak ada keterpaduan antara pendidikan dan perilaku hidup moral serta perkembangan zaman maka masyarakat teralienasi dari dirinya sendiri juga segala perkembangan yang dihadapi. Karena itu, pendidikan harus mengikuti perkembangan zaman. Diharapkan pula agar pendidikan membantu perkembangan manusia menuju manusia yang lebih utuh, mampu bertanggung jawab kepada dirinya, sesama, alam maupun Yang Ilahi. Di sini gerakan filsafat hidup dan filsafat perbuatan menyata. Aliran filsafat hidup menekankan aspek makna hidup dan kehidupan dan kehendak adalah energi aktif yang bermakna dalam perbuatan. Filsafat perbuatan menekankan perbuatan yang adalah daya penggerak kultural bukan pada akal budi intelek saja (bdk. Henry Bergson "Philosophy of Life). Pandangan ini mengartikan bahwa pendidikan selaras zaman tidak hanya mengandalkan kemampuan ratio belaka tetapi menuntut praktis yang harus diimbangi dengan perilaku moral hidup yang wajar. Sebab masa lalu orang sangat mengandalkan peranan IQ (Intelligence Quotient) yang dianggap menunjang keberhasilan dalam hidup. Namun kenyataan yang dialami tidak demikian. Itu berarti ada yang kurang yang harus ditambah. Melewati proses panjang seorang psikolog menganalisis dan berusaha mencari jawaban terhadap persoalan ini. Di tahun 80-an dunia pendidikan dikejutkan oleh inovasi Howard Gardner. Ia adalah seorang psikolog dari Harvard School of Education. Idenya (Howard) dimuat dalam buku berjudul "Frames of Mind, The Theory of Multiple Intelligence". (bdk. J.Riberu, makalah "Peningkatan Mutu Manusia Indonesia melauli Pengembangan Kecerdasan Emosional, Spiritual, Rasional : Prasaran pada Rakor III Forum Kerjasama PT se-NTT, di STFK Ledalero, 29-10-2002). Di sini Howard mendebatkan peran signifikan yang didaulatkan pada IQ sekaligus mengafirmasi intelegensi jamak manusia bukan intelegensi tunggal manusia. Karena itu ia mengajukan agar lebih efektif membicarakan "suatu spektrum yang terdiri atas pelbagai jenis intelegensi".

Hal ini ditandai dengan dimulainya pengembangan wacana tentang "Multiple Intellegences - Intelegensi Jamak, Plural". Proyek ini terbukti membawa hasil yang baik setelah melalui tes longitudinal bahwa keberhasilan dalam pekerjaan semata-mata tidak ditentukan oleh kecerdasan rasional yang diukur IQ. Tentu ada unsur lain yang harus diperhatikan yaitu Emotional Quotient (EQ). Unsur ini jauh lebih efektif menyokong kesuksesan dalam hidup manusia. EQ sangat menekankan aspek emosional dalam diri manusia. Aspek ini memungkinkan orang menghidupkan segala talenta yang dimiliki serta mengembangkan afeksi secara wajar. Dengan demikian sumbangan sekolah sebagai lembaga pendidikan yang paling berarti bagi pertumbuhan dan perkembangan anak adalah mengarah, membimbing serta mengantar mereka menuju kepada bidang yang cocok dengan bakatnya. Dengan itu segala potensi anak dapat teraktualisir sehingga mereka puas dan ber-kompeten dalam pelbagai konteks kehidupan. Ada pun tujuan pengembangan kecerdasan emosional adalah agar manusia memiliki kompetensi emosional. Kompetensi emosional meliputi kompetensi individual dan sosial. Kompetensi sosial yaitu kemampuan berelasi, berempati terhadap yang lain. Peranan EQ yang disoroti tidak berarti menggantikan peran IQ. Keduanya tetap dibutuhkan hanya proporsinya berbeda. Selain kecerdasan emosional dan rasional ada kecerdasan spiritual. Kecerdasan ini mengatur ke-sadaran kemampuan manusia untuk berhubungan dengan yang Ilahi dan Adikodrati melampaui ke-mampuan indra manusial. SQ (Spiritual Quotient) membawa orang kepada suatu kesadaran untuk mencintai nilai-nilai luhur kemanusiaan: kebenaran, keadilan, cinta kasih, estetika, etika. Kesadaran ini lahir dari satu sikap meditatif terlampau mendalam. Kecerdasan spiritual merupakan pengikat yang mem-persatukan EQ dan IQ. Sebab melalui kecerdasan spiritual anak sadar bahwa kemampuan yang mereka miliki adalah anugerah Tuhan yang patut disyukuri dan harus dikembangkan, dihidupkan dalam kese-harian hidupnya. Karena itu sekolah sebagai lembaga pendidikan harus memperhatikan ketiga faktor di atas.

Tidak ada komentar: